UU ITE Produk Hukum Yang Masih Perlu Revisi

Jakarta – Didalam sebuah acara Dialog Dinamika UU ITE Pasca Revisi, dibahas pasal-pasal yang memiliki keganjilan didalamnya. Hal ini diutarakan oleh Arief Muliawan, Kepala Bidang Pemulihan Aset Nasional Kejaksaan Agung Republik Indonesia, pada Rabu, 28 Desember 2016.

Arief menemukan sejumlah keganjilan pada Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016, mengenai Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Misalnya saja pada Pasal 5 ayat 2, mengenai intersepsi, penyadapan atau perekaman harus dilakukan atas permintaah aparat penegak hukum. Disini bisa disimpulkan bahwa kalau ada hasil rekaman yang dibuat oleh seseorang yang bukan aparat hukum berarti rekaman itu tidak bisa digunakan sebagai barang bukti.

“Keputusan ini membuat kami geleng-geleng, karena kalo besok misalnya depan rumah saya ada perampokan yang terekam cctv, itu tidak bisa dijadikan bukti. Karena cctv itu dipasang atas permintaan saya, bukan penyidik. Lucukan,” kata Arief seperti dikutip dari detikINET.

Apalagi pada pasal 26 ayat 1 pada huruf c tertulis setiap warga memiliki hak untuk memata-matai orang lain. Apa yang dilakukan mereka dilindungi undang-undang.Dimana ini tentunya menjaditerlihat aneh, karena pada pasal Pasal 5 ayat 2 menyatakan hal yang berbeda.

“Ini sangat aneh. Warga jadi punya hak walau bukan penegak hukum untuk menyadap atau mendapatkan akses informasi warga lain dan itu dijamin oleh undang-undang loh,” ujar Arief.

Mengenai pasal 26 ayat 1 pada huruf c ini, ia juga memberikan contoh apabila ada pencurian yang terekam oleh CCTV, maka alat tersebut tidak dapat digunakan sebagai barang bukti. Karena barang bukti tersebut bukan atas permintaan aparat penyidik, sehingga ini terlihat menjadi lucu.

Dengan adanya penjelasan pasal 26 huruf c tersebut membuatnya menjadi heran. Ia melihat sebaiknya penjelasan itu dihapus saja sebelum disahkan. Namun, semua produk hukum yang ada sifatnya tidak mutlak, sehingga masih ada kemungkinan untuk dilakukan revisi.

“Secara hukum, UU ITE ini sudah sempurna karena sudah disahkan. Namun, hukum berkembang secara dinamis jadi kemungkinan direvisi bisa saja. Hukum yang pasti itu hukum Tuhan,” ujarnya.

Arief Muliaman sendiri telah aktif dari tahun 2006 mengikuti perancangan UU ITE yang pada waktu itu disahkan di tahun 2008. Sementara untuk pembahasan revisi UU ITE ia tidak dapat berpartisipasi dikarenakan adanya pergantian posisi di Kejaksaan Agung.(hh)