Acara Indonesia Infrastructure Roundtable ke-11 ini mengangkat tema yaitu “Urgensi Rekonstruksi Pungutan Negara untuk Mendorong Percepatan Pembangunan Infrastruktur Telekomunikasi”. Acara yang berlangsung pada hari kamis di kantor PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) ini dibuka dengan sambutan pertama oleh direktur utama PT. PII (Persero), Ir. Sinthya Roesli yang mengatakan bahwa acara ini adalah acara yang membedah sektor infrastruktur. Misalnya, tentang sektor air minum di Tanggerang, Jakarta Monorel, MRT, dan berbagai hal yang terkait dengan infrastruktur di Indonesia.
Acara yang dilatar belakangi oleh masalah mengenai pungutan dalam bisnis komunikasi operator, baik pajak maupun non pajak kepada operator. Pada sisi pelaku usaha tentu hal ini akan menjadi beban karena di samping biaya operasional / produksi yang tentunya naik, pelaku usaha juga harus terpaksa menambah harga jual produknya tersebut dan tentu jika konsumen tidak suka dengan hal itu, akan mengurangi laba yang didapat oleh pelaku usaha tersebut.
Prof. Dr. Dra. Haula Rosdiana, M.Si selaku pemberi materi pada acara ini mengatakan, “Agak prihatin dengan industri komunikasi” penyebabnya adalah tidak meratanya infrastruktur telekomunikasi di Indonesia. Industri telekomunikasi ini memang memiliki “hasil” yang banyak sehingga pemerintah selalu membuat pajak – pajak baru pada industri ini, contohnya adalah pajak untuk kabel laut.
Terdapat pertanyaan yang muncul pada pembicaraan yang diangkat oleh Prof. Dr. Dra. Haula Rosdiana, M.Si ini yaitu sebagai berikut:
- Bagaimana implikasi struktur pungutan negara yang berlaku saat ini terhadap produktivitas pembangunan infrastruktur telekomunikasi?
- Bagaimana implikasi struktur pungutan negara yang berlaku saat ini terhadap biaya pemeliharaan infrastruktur telekomunikasi dan kesinambungan ketersediaan infrastruktur telekomunikasi yang berlanjutan?
- Bagaimana memanfaatkan peluang untuk penyederhanaan dan kepastian beban pajak pungutan negara guna mendorong akselarasi pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan pemeliharaannya?
Di samping itu, pungutan negara atas sektor telekomunikasi ini juga dapat mempengaruhi produktivitas pelaku usaha pada sektor ini, di mana kualitas dan fitur dari produk yang sesuai dengan harga, dan hasil efisiensi yang didapat mempengaruhi produktivitas itu sendiri yang juga mempengaruhi daya saing nasional pada sektor ini. Jika terdapat pungutan tersebut, tentu pelaku usaha akan “terpaksa” menambah biaya produksi atau biaya operasional seperti PNBP, mempersempit cashflow serta menambah harga jual yang bisa saja mengurangi laba. Pemerintah tentu memiliki peranan yang sangat penting dalam mendorong daya saing nasional ini lewat berbagai cara yang dapat menghasilkan keputusan yang menguntungkan semua pihak. Pada saat ini, pungutan negara pada sektor telekomunikasi di Indonesia adalah sebagai berikut:
- Pungutan pemerintah pusat:
- Pajak
- PNPB Kuasi Pajak
- PNPB Kuasi Retribusi (Charges)
- PNPB Kuasi Pungutan atas SDA (Natural Resources)
- Pungutan pemerintah daerah
- Pajak daerah
- Retribusi
Selain itu, pungutan negara atas infrastruktur telekomunikasi, seperti:
- Pungutan pemerintah pusat:
- Pajak (PDRI, PPN, PPh Badan, PPh WHT) sesuai dengan aktivitas economic activity
- PBB P3 sektor lainnya : jaringan kabel telekomunikasi bawah laut.
- PNPB
- Pungutan pemerintah:
- PBB P2 (Tanah dan Bangunan di Perkotaan dan Pedesaan) : menara
- Retribusi pengendalian menara telekomunikasi
- IMB
Masyarakat Telematika (MASTEL), lewat ketua umumnya Ir. Kristiono memberikan tanggapan mengenai hal ini. Menurutnya, tidak ada porsi APBN yang masuk untuk mendukung semua kegiatan pada industri telekomunikasi ini. Perbandingan dengan PNBP dan pajak sudah berimbang, motivasi pemerintah adalah dimana hal itu menjadi fiscal income sehingga terus dinaikkan dengan tidak jelas. Persoalannya bagi negara adalah bagaimana negara menjalankan sesuai konstitusi untuk memberikan hak ekslusif bagi semua kalangan. Inti dari permasalahan ini adalah uang yang masuk ke pemerintah tidak kembali lagi ke sektor infrastruktur telekomunikasi Indonesia. Kami di MASTEL mencoba mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Permasalahan ini mengakibatkan harga yang disediakan kepada masyarakat menjadi mahal karena disebabkan cost yang mahal tetapi akhirnya sektor infrastruktur telekomunikasi ini menjadi tertinggal dibanding negara – negara ASEAN. Pemerintah harus adil untuk peraturan ini agar menghasilkan sesuatu yang efisien yang saling menguntungkan. “Perlunya reformulasi, restruktur yang baik dan benar karena sebenarnya aturan ini dihasilkan berkat pemahaman yang tidak tepat sehingga menghasilkan aturan yang “liar” atau seenaknya dan terus menghasilkan objek pajak yang baru yang mungkin sebenarnya membuat industri ini tidak efisien, akhirnya yang dikorbankan adalah rakyat karena tidak mendapatkan pelayanan yang optimal,” lanjut Ir. Kristiono, Ketua Umum MASTEL.
Pada kesempatan yang sama pula, Ketua Umum dari Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) Indonesia, Lukman Adjam, memberikan tanggapannya. Beliau mengatakan awalnya UUD tentang telekomunikasi itu adalah UUD 3 Tahun 1989 yang berisi mutlak hanya pemerintah yang menyelenggarakan telekomunikasi. akhirnya, UUD ini direvisi menjadi UU 36 Tahun 1999. Lewat UU ini, diubah menjadi 3 penyelenggaraan yaitu jasa telekomunikasi, jaringan telekomunikasi dan telekomunikasi khusus. Tetapi pada UU ini yang menyelenggarakannya masih negara dan dibagi menjadi 4 kategori yaitu BUMN, BUMD, Koperasi dan Swasta. Permasalahannya adalah, setiap pelaku usaha ingin membangun infrastruktur pada sektor telekomunikasi ini, selalu saja mendapatkan pajak yang berlapis – lapis, ditambah banyaknya pungutan liar karena banyaknya “penguasa” yang menguasai beberapa daerah/lahan tempat infrastruktur itu akan dibangun dan diperparah dengan peraturan yang tidak jelas.
Narasumber Prof. Dr. Dra. Haula Rosdiana, MSi mengatakan, “Dengan dibantu dengan MASTEL untuk membentuk RUU PNBP, kami berharap RUU ini akan menjadi lebih naik dan menjadi prioritas kedepannya,”. Salah satu tujuan yang harus dipenuhi adalah akses telekomunikasi untuk seluruh masyarakat Indonesia dan harus sesegera mungkin untuk disepakati. Hal ini akan tercapai jika produktivitas dunia usaha pada sektor telekomunikasi tidak terganggu dengan bermunculannya jenis – jenis pungutan negara yang baru. Belajar dari pengalaman kasus PBB Migas atas masa eksplorasi, maka seharusnya pemerintah mengevaluasi kembali Peraturan Dirjen Pajak Nomor Per-20/PJ/2015 Tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Lainnya, yang memperluas obyek PBB sebagaimana dikutip seperti ini:
Pasal 2
- Objek pajak PBB sektor lainnya meliputi:
- Bumi berupa perairan lepas pantai yang digunakan untuk:
- Usaha perikanan tangkap;
- Usaha pembudidayaan ikan;
- Jaringan pipa;
- Jaringan kabel telekomunikasi;
- Jaringan kabel listrik; atau
- Ruas jalan tol;
- Bangunan berupa konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada bumi sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Pasal 1 ayat 9
Jaringan kabel telekomunikasi bawah laut yang selanjutnya disebut Jaringan Kabel Telekomunikasi adalah suatu sistem transmisi telekomunikasi menggunakan media kabel yang dibentangkan di dalam lautan dan/atau samudra untuk menghubungkan beberapa stasiun kabel.
Pada akhirnya, moderator dipersilahkan untuk memberikan resume mengenai topik pembicaraan ini, menurutnya yang paling penting untuk PNBP harus di kawal RUU-nya, untuk PBB, menurutnya belum ada solusi yang tepat. Tetapi menurut Prof. Dr. Dra. Haula Rosdiana, MSi, MASTEL harus ikut turun untuk memberikan solusi untuk keduanya. Prof. Dr. Dra. Haula Rosdiana, MSi pun memberikan resumenya, beliau mengatakan “Kita sama – sama memahami bahwa hal ini harus ditindak lanjuti bersama. Kita harus terus berusaha untuk menindak lanjuti masalah pada hal ini. Tidak hanya berhenti pada IRR ke-11 ini. Karena hal ini akan berimbas pada beberapa bidang usaha. Asosiasi khususnya mastel lebih tahu persis soal hal ini. Ini adalah langkah awal dan selanjutnya harus kita jalani secara bersama – sama,”. [MFHP]