Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), Rudiantara menyatakan akan terus berupaya mendorong agar revisi Undang-Undang Informasi Transaksi dan Elektronik (UU ITE) bisa dibahas tahun ini juga.
“Kalau tidak salah, naskah revisi UU ITE itu sudah saya tanda tangan sejak Oktober lalu. Naskah itu juga sudah dibahas dalam rapat antar menteri, sudah ke rakor menkopolhukam, bahkan sudah dibawa ke rapat terbatas kabinet dengan presiden,” ucap menteri yang biasa dipanggil Chief RA itu usai peluncuran XL DigiBiz (02/12/2015).
“Setelah rapat terbatas kabinet, sekitar Oktober lalu, saya sudah tanda tangan naskah. Pokoknya saya kejar terus, ke Komisi 1(DPR) juga update soal ini. kalau lambat-lambat nanti saya bawa ke Badan Legislatif (BaLeg) lah,” tegasnya.
Beliau menjelaskan dalam isi dari revisi UU ITE tersebut, terdapat beberapa aktivis dan penggiat internet yang menyerukan agar pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik dihapus. Namun menurutnya pemerintah tidak akan menghapus pasal tersebut.
Sebagaimana diketahui, dalam naskah revisi tersebut hukuman pidana penjara tetap tidak akan dihilangkan. Hal ini bertujuan untuk memberikan efek jera bagi yang melakukan pencemaran nama baik melalui media sosial. Salah satu bagian yang diubah yang terdapat pada revisi dalam pasal 27 ayat 3 banyak disebut sebagai “pasal karet”. Hukuman yang sebelumnya enam tahun, dikurangi menjadi empat tahun agar tidak disalahgunakan.
“Ini untuk mencegah agar pelaku pencemaran nama baik itu tidak langsung ditahan. Kan, kalau ancaman pidananya di atas lima tahun, penyidik bisa langsung menahan tersangka, lalu diinterogasi. Sekarang, ancaman pidananya saya turunkan jadi empat tahun, sehingga si tersangka tidak langsung ditahan. Tapi ditanya dulu,” Jelas Rudiantara.
Sekedar diketahui, bila ancaman hukuman lebih dari lima tahun, maka orang yang dituduh bersalah bisa dipenjara lebih dulu sebelum diminta keterangan.
Sebelumnya, Koordinator Regional SAFEnet, Damar Juniarto menyebutkn bahwa dalam rentang tahun 2008 sampai November 2015, terdapat 118 orang yang menjadi korban dari pasal karet UU ITE ini. total sebanyak 90% merupakan aduan yang terkait dengan pasal pencemaran nama atau defarmasi.
“Siapapun yang pernah merasakan terjerat UU ITE akan mengalami efek jera yang berakibat dirinya merasa takut untuk mengungkapkan pendapatnya lagi. Selain itu makin berkurangnya narasumber kritis karena mereka dapat dituntut. Bahkan di Aceh pada awal tahun 2015 ada media menghentikan kegiatannya setelah dituntut oleh gubernurnya sendiri,” jelas Damar.
Oleh sebab itulah pemerintah harus segera merevisi UU ITE agar tidak memakan “korban” lagi karena jika pemerintah tidak serius, maka sama saja menghancurkan harapan para pengguna internet.
“Kalau tidak serius, maka betapa payahnya sekarang pemerintah saat ini. Di mana mereka membiarkan naskahnya terlunta-lunta. Padahal netizen sudah berharap ini diseriuskan dan diselesaikan,” tegas Damar.
Pengamat internet dari ICT Watch, Donny BU menyatakan bahwa dirinya tidak yakin jika revisi naskah UU ITE akan dibahas pada tahun ini. hal itu disebabkan karena keberadaan terakhir naskah revisi UU ITE sedang dalam pemeriksaan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) yang setelah itu dikirim ke Polri untuk diparaf lalu dikembalikan ke Setneg dan terakhir dikirimkan ke DPR RI.
“Kita awalnya optimis tapi sekarang pragmatis. Artinya, kalau dibahas pada pertengahan Desember dan kemudian ketok palu saat Desember juga, kita khawatir pembahasan tidak maksimal serta cenderung tergesa-gesa,” ujarnya saat ditemui seusai acara diskusi mengenai Darurat Revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Peran Netizen Kawal Demokrasi di Bakole Koffie, Jakarta, belum lama ini. [MFHP]