Cina telah menjadi kekuatan dominan dalam jaringan kecerdasan buatan (AI) global, dengan pemerintah otokratis menjadi salah satu pengguna terbesarnya. Hal ini terungkap melalui penelitian yang dilakukan oleh Profesor Ekonomi Harvard, David Yang.
Menurut Profesor Yang, Cina telah mengekspor sejumlah besar teknologi AI, sementara kontribusinya di sektor teknologi perbatasan lainnya justru lebih kecil. Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa sektor AI adalah satu-satunya sektor dari 16 teknologi perbatasan yang memiliki pembeli yang tidak proporsional dari rezim otokratis dan demokrasi yang lemah.
Rezim otokratis di seluruh dunia memiliki minat khusus pada AI karena mereka ingin dapat memprediksi keberadaan, pemikiran, dan perilaku warga mereka. AI secara fundamental adalah teknologi prediksi, dan ini menciptakan kesesuaian tujuan antara teknologi AI dan penguasa otokratis. Selain itu, karena AI sangat bergantung pada data, rezim otokratis yang diketahui mengumpulkan banyak data dapat memberikan keuntungan kepada perusahaan dengan kontrak pemerintah Cina. Perusahaan-perusahaan ini kemudian dapat menggunakan data tersebut untuk mendukung proyek komersial mereka.
Cina telah mencapai posisi yang dominan dalam penelitian, pengembangan, dan pembuatan kebijakan AI secara global. Keahlian, keterampilan, inovasi teknologi yang berkembang, dan investasi nasional dalam sains dan teknologi telah menjadikan Cina sebagai pemimpin dalam bidang AI. Hal ini disampaikan dalam sebuah makalah penelitian yang diterbitkan oleh Brookings.
Selama lebih dari dua dekade, Cina telah terlibat secara aktif dalam jaringan penelitian dan pengembangan AI internasional. Mereka menulis makalah bersama dengan para peneliti di luar negeri, menjadi tuan rumah laboratorium AI perusahaan Amerika, dan membantu memperluas batas-batas penelitian AI global. Namun, dalam lima tahun terakhir, hubungan Cina dengan jaringan global ini semakin diawasi oleh pemerintah, universitas, perusahaan, dan masyarakat sipil.
Beberapa faktor telah mendorong penilaian ulang terhadap hubungan ini. Pertama, peningkatan kemampuan AI dan dampaknya terhadap daya saing ekonomi dan keamanan nasional. Kedua, penggunaan AI yang tidak etis oleh Cina, termasuk penggunaan alat AI untuk pengawasan massal terhadap warganya, terutama kelompok etnis Uyghur di Xinjiang. Ketiga, peningkatan kemampuan dan ambisi Cina dalam AI, yang menjadikannya pesaing yang sejati bagi Amerika Serikat. Terakhir, kebijakan yang digunakan oleh pemerintah Cina untuk mendukung kemampuan AI, termasuk investasi yang diarahkan oleh negara dan transfer pengetahuan yang kurang transparan dari luar negeri.
Cina telah memainkan peran penting dalam mengubah lanskap global AI dengan langkah-langkah strategis dan investasi yang agresif. Negara ini telah meluncurkan rencana jangka panjang yang disebut “Made in Cina 2025” yang secara khusus mencakup pengembangan dan penggunaan AI sebagai salah satu pilar utama untuk mencapai tujuan mereka.
Investasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Cina dalam sektor AI telah menghasilkan penelitian dan pengembangan yang inovatif. Mereka telah mendukung pendirian laboratorium riset AI di universitas-universitas terkemuka dan pusat-pusat teknologi di seluruh negeri. Cina juga telah membangun kota-kota AI seperti Zhongguancun di Beijing, yang dijuluki “Silicon Valley-nya Cina,” yang menjadi rumah bagi banyak perusahaan teknologi terkemuka dalam pengembangan AI.
Dampak dari dominasi Cina dalam AI tidak hanya terbatas pada wilayahnya sendiri. Mereka juga telah memperluas pengaruh mereka melalui program “Belt and Road Initiative” yang melibatkan investasi dan kolaborasi dengan negara-negara lain di seluruh dunia. Cina telah menawarkan dukungan teknologi AI kepada negara-negara mitra sebagai bagian dari strategi mereka untuk memperkuat hubungan ekonomi dan politik.
Namun, kehadiran Cina yang kuat dalam AI juga menimbulkan kekhawatiran dan kontroversi. Salah satu keprihatinan utama adalah penggunaan teknologi AI untuk pengawasan massal dan pelanggaran hak asasi manusia. Cina telah dikritik keras karena penggunaan sistem pengawasan dan pemantauan yang canggih untuk mengawasi dan mengontrol warganya. Penerapan teknologi ini telah menimbulkan kekhawatiran tentang privasi dan kebebasan individu.
Selain itu, dominasi Cina dalam AI juga dapat memiliki implikasi geopolitik. Negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat, merasa terancam oleh kemajuan Cina dalam teknologi ini. Persaingan antara Cina dan Amerika Serikat untuk dominasi AI telah menjadi salah satu aspek penting dalam persaingan global yang lebih luas antara kedua negara tersebut.
Dalam menghadapi dominasi Cina dalam AI, negara-negara lain sedang berusaha untuk memperkuat upaya penelitian dan pengembangan mereka sendiri, meningkatkan kolaborasi internasional, dan memperkuat regulasi untuk memastikan penggunaan teknologi yang etis dan menghormati hak asasi manusia.
Dalam hal ini, penting untuk memperhatikan perkembangan dalam AI dengan cermat. Sementara keunggulan teknologi AI dapat membawa manfaat besar, penting juga untuk memastikan bahwa penggunaannya sejalan dengan prinsip-prinsip etika dan menjaga privasi serta kebebasan individu.Cina telah menjadi kekuatan dominan dalam jaringan kecerdasan buatan (AI) global, dengan pemerintah otokratis menjadi salah satu pengguna terbesarnya. Hal ini terungkap melalui penelitian yang dilakukan oleh Profesor Ekonomi Harvard, David Yang.
Menurut Profesor Yang, Cina telah mengekspor sejumlah besar teknologi AI, sementara kontribusinya di sektor teknologi perbatasan lainnya justru lebih kecil. Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa sektor AI adalah satu-satunya sektor dari 16 teknologi perbatasan yang memiliki pembeli yang tidak proporsional dari rezim otokratis dan demokrasi yang lemah.
Rezim otokratis di seluruh dunia memiliki minat khusus pada AI karena mereka ingin dapat memprediksi keberadaan, pemikiran, dan perilaku warga mereka. AI secara fundamental adalah teknologi prediksi, dan ini menciptakan kesesuaian tujuan antara teknologi AI dan penguasa otokratis. Selain itu, karena AI sangat bergantung pada data, rezim otokratis yang diketahui mengumpulkan banyak data dapat memberikan keuntungan kepada perusahaan dengan kontrak pemerintah Cina. Perusahaan-perusahaan ini kemudian dapat menggunakan data tersebut untuk mendukung proyek komersial mereka.
Cina telah mencapai posisi yang dominan dalam penelitian, pengembangan, dan pembuatan kebijakan AI secara global. Keahlian, keterampilan, inovasi teknologi yang berkembang, dan investasi nasional dalam sains dan teknologi telah menjadikan Cina sebagai pemimpin dalam bidang AI. Hal ini disampaikan dalam sebuah makalah penelitian yang diterbitkan oleh Brookings.
Selama lebih dari dua dekade, Cina telah terlibat secara aktif dalam jaringan penelitian dan pengembangan AI internasional. Mereka menulis makalah bersama dengan para peneliti di luar negeri, menjadi tuan rumah laboratorium AI perusahaan Amerika, dan membantu memperluas batas-batas penelitian AI global. Namun, dalam lima tahun terakhir, hubungan Cina dengan jaringan global ini semakin diawasi oleh pemerintah, universitas, perusahaan, dan masyarakat sipil.
Beberapa faktor telah mendorong penilaian ulang terhadap hubungan ini. Pertama, peningkatan kemampuan AI dan dampaknya terhadap daya saing ekonomi dan keamanan nasional. Kedua, penggunaan AI yang tidak etis oleh Cina, termasuk penggunaan alat AI untuk pengawasan massal terhadap warganya, terutama kelompok etnis Uyghur di Xinjiang. Ketiga, peningkatan kemampuan dan ambisi Cina dalam AI, yang menjadikannya pesaing yang sejati bagi Amerika Serikat. Terakhir, kebijakan yang digunakan oleh pemerintah Cina untuk mendukung kemampuan AI, termasuk investasi yang diarahkan oleh negara dan transfer pengetahuan yang kurang transparan dari luar negeri.
Cina telah memainkan peran penting dalam mengubah lanskap global AI dengan langkah-langkah strategis dan investasi yang agresif. Negara ini telah meluncurkan rencana jangka panjang yang disebut “Made in Cina 2025” yang secara khusus mencakup pengembangan dan penggunaan AI sebagai salah satu pilar utama untuk mencapai tujuan mereka.
Investasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Cina dalam sektor AI telah menghasilkan penelitian dan pengembangan yang inovatif. Mereka telah mendukung pendirian laboratorium riset AI di universitas-universitas terkemuka dan pusat-pusat teknologi di seluruh negeri. Cina juga telah membangun kota-kota AI seperti Zhongguancun di Beijing, yang dijuluki “Silicon Valley-nya Cina,” yang menjadi rumah bagi banyak perusahaan teknologi terkemuka dalam pengembangan AI.
Dampak dari dominasi Cina dalam AI tidak hanya terbatas pada wilayahnya sendiri. Mereka juga telah memperluas pengaruh mereka melalui program “Belt and Road Initiative” yang melibatkan investasi dan kolaborasi dengan negara-negara lain di seluruh dunia. Cina telah menawarkan dukungan teknologi AI kepada negara-negara mitra sebagai bagian dari strategi mereka untuk memperkuat hubungan ekonomi dan politik.
Namun, kehadiran Cina yang kuat dalam AI juga menimbulkan kekhawatiran dan kontroversi. Salah satu keprihatinan utama adalah penggunaan teknologi AI untuk pengawasan massal dan pelanggaran hak asasi manusia. Cina telah dikritik keras karena penggunaan sistem pengawasan dan pemantauan yang canggih untuk mengawasi dan mengontrol warganya. Penerapan teknologi ini telah menimbulkan kekhawatiran tentang privasi dan kebebasan individu.
Selain itu, dominasi Cina dalam AI juga dapat memiliki implikasi geopolitik. Negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat, merasa terancam oleh kemajuan Cina dalam teknologi ini. Persaingan antara Cina dan Amerika Serikat untuk dominasi AI telah menjadi salah satu aspek penting dalam persaingan global yang lebih luas antara kedua negara tersebut.
Dalam menghadapi dominasi Cina dalam AI, negara-negara lain sedang berusaha untuk memperkuat upaya penelitian dan pengembangan mereka sendiri, meningkatkan kolaborasi internasional, dan memperkuat regulasi untuk memastikan penggunaan teknologi yang etis dan menghormati hak asasi manusia.
Dalam hal ini, penting untuk memperhatikan perkembangan dalam AI dengan cermat. Sementara keunggulan teknologi AI dapat membawa manfaat besar, penting juga untuk memastikan bahwa penggunaannya sejalan dengan prinsip-prinsip etika dan menjaga privasi serta kebebasan individu.(hh)