Robot yang dikendalikan dengan pikiran manusia mungkin terdengar seperti fiksi ilmiah, namun kini peneliti telah berhasil merancang sensor graphene tiga dimensi yang dapat mengukur aktivitas listrik otak tanpa mengandalkan gel konduktif. Sensor kering ini kurang mengiritasi dan menimbulkan alergi dibandingkan dengan sensor “basah” tradisional yang digunakan dalam elektroensefalografi (EEG) untuk mendiagnosis gangguan saraf atau mengontrol perangkat eksternal melalui antarmuka mesin-otak.
Ketika diintegrasikan ke dalam headband elastis dan digunakan dengan headset realitas teraugmentasi, sensor kering memungkinkan kendali robot tanpa tangan dengan mengartikan sinyal otak. Meskipun belum seefektif sensor basah, perkembangan ini menandakan kemajuan menuju antarmuka mesin-otak yang mudah diimplementasikan dan non-invasif.
Peneliti telah menciptakan struktur khusus yang tidak bergantung pada gel konduktif lengket, sehingga menciptakan sensor “kering” yang dapat mengukur aktivitas listrik otak, bahkan di tengah rambut dan gundukan kepala. Dokter memonitor sinyal listrik dari otak dengan elektroensefalografi (EEG), di mana elektroda khusus ditanamkan atau ditempatkan di permukaan kepala.
EEG membantu mendiagnosis gangguan saraf, tetapi juga dapat dimasukkan ke dalam “antarmuka mesin-otak,” yang menggunakan gelombang otak untuk mengontrol perangkat eksternal, seperti anggota tubuh prostetik, robot, atau bahkan video game.
Sebagian besar versi non-invasif melibatkan penggunaan sensor “basah,” yang menempel pada kepala dengan gel yang lengket yang dapat mengiritasi kulit kepala dan kadang-kadang memicu reaksi alergi. Sebagai alternatif, para peneliti telah mengembangkan sensor “kering” yang tidak memerlukan gel, tetapi sejauh ini belum bekerja dengan baik seperti jenis “basah.”
Meskipun nanomaterial seperti graphene bisa menjadi pilihan yang cocok, sifat datar dan biasanya bersisik membuatnya tidak cocok dengan lengkungan tidak merata pada kepala manusia, terutama dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, Francesca Iacopi dan rekan-rekannya ingin membuat sensor graphene tiga dimensi berbasis polikristalin yang dapat memonitor aktivitas otak dengan akurat tanpa lengket.
Tim menciptakan beberapa struktur berlapis graphene tiga dimensi dengan bentuk dan pola yang berbeda, masing-masing sekitar 10 µm tebal. Dari bentuk yang diuji, pola heksagonal bekerja paling baik di permukaan berbulu dan bergelombang pada wilayah oksipital – titik di dasar kepala tempat korteks visual otak berada. Tim mengintegrasikan delapan sensor ini ke dalam headband elastis, yang menahan sensor di bagian belakang kepala.
Ketika digabungkan dengan headset realitas teraugmentasi yang menampilkan petunjuk visual, elektroda tersebut dapat mendeteksi petunjuk mana yang sedang dilihat, kemudian bekerja dengan komputer untuk menafsirkan sinyal-sinyal tersebut menjadi perintah yang mengontrol gerakan robot empat kaki – secara total tanpa menggunakan tangan.
Meskipun elektroda baru ini belum bekerja sebaik elektroda basah, para peneliti mengatakan bahwa penemuan ini merupakan langkah pertama menuju pengembangan elektroda kering yang kokoh dan mudah diimplementasikan untuk membantu memperluas aplikasi antarmuka otak-mesin.
Dalam jangka panjang, teknologi ini dapat membantu orang yang mengalami disabilitas fisik untuk mengontrol perangkat eksternal seperti protesa atau kursi roda secara langsung dengan pikiran mereka. Ini juga dapat digunakan untuk membantu dalam rehabilitasi pasien stroke atau cedera otak lainnya.
Selain itu, teknologi ini juga dapat diterapkan pada industri otomotif dan militer, misalnya untuk mengontrol kendaraan tanpa awak atau drone dengan pikiran.
Penemuan ini menunjukkan betapa teknologi graphene yang inovatif dan maju dapat membuka jalan untuk kemajuan yang signifikan dalam bidang antarmuka otak-mesin dan neuroteknologi.(hh)