Keputusan Pengadilan Tinggi Eropa tahun 2014 memperbolehkan warga negara Eropa meminta Google untuk menghapus informasi tentang mereka dari hasil pencarian. Menurut laporan transparansi Google, yang dipublikasikan hari ini, sejak 28 Mei 2014 telah ada 654.876 permintaan yang masuk, dengan jumlah URL yang diminta untuk dihapus sebanyak 2.437.271 URL.
Namun, Google tidak harus mematuhi permintaan tersebut. Google telah menyediakan petugas yang akan mengulas dan memberikan nilai untuk setiap kasus yang masuk. Dialah yang akan mempertimbangkan apakah informasinya tidak akurat, tidak memadai, tidak relevan atau berlebihan.
Perusahaan teknologi raksasa ini dapat menolak untuk menghapus sebuah tautan jika ada kepentingan publik terhadap informasi di dalam hasil pencarian, misalnya saja informasi bisnis, mungkin akan berguna bagi calon pelanggan. Sementara konten yang berisikan tentang kejahatan, biasanya diminati oleh masyarakat.
Dari laporan tersebut terlihat adanya indikasi bahwa jumlah URL yang diminta untuk dihapus cenderung bertahan ketimbang menurun jumlahnya. Sejak Mei 2014, Google memang belum menghapus 56,7 persen URL tersebut. Sementara di Inggris, ada sekitar 60,2 persen URL yang tidak dihapus oleh Google.
Keputusan yang diambil oleh Google tersebut membuatnya berada di bawah pengawasan Pengadilan Tinggi untuk pertama kalinya minggu ini. Hal ini disebabkan oleh sebuah kasus yang diajukan oleh seorang penggugat yang menginginkan informasi i di tahun 90an mengenai sebuah tuduhan persekongkolan pemalsuan diminta untuk dihapus dari hasil pencarian.
Di dalam laporannya, Google memperlihatkan beberapa contoh kasus ketika menolak permintaan tersebut. Diantaranya adalah ketika seorang warga Inggris meminta Google untuk menghapus sekitar 300 artikel terkait kasus penipuan di tahun 2012. Hal tersebut dilakukannya atas dasar dokumen yang menyatakan bahwa orang tersebut diputuskan tidak bersalah, Google pun menghapus sekitar 239 URL.
Tapi ketika orang yang sama meminta Google untuk menghapus sejumlah halaman lain terkait pemalsuan dokumen, Google pun melakukan penyelidikan sedikit lebih dalam.
“Setelah meninjau kembali dokumen asli yang telah dikirimkan sebagai bukti ketidakbersalahannya dalam kasus penipuan, kami menemukan adanya pemalsuan,” kata pihak Google
“Untuk itu, kami telah mengembalikan semua URL yang telah kami hapus sebelumnya,” imbuhnya.
Sejak Januari 2016, Google juga telah melacak jenis konten yang ingin dihapus orang dari penelusurannya, 18,1 persen konten berkaitan dengan informasi profesional dan 6,1 persen terkait dengan kejahatan. Di dalam sebuah laporan terpisah, Google mengatakan bahwa ada dua alasan dominan untuk mengindahkan permintaan penghapusan.
“33 persen URL yang diminta untuk dihapus terkait dengan layanan media sosial dan direktori yang berisi informasi pribadi, sementara 20 persen URL lainnya terkait dengan saluran berita dan situs web pemerintah yang sebagian besar kasusnya berhubungan dengan riwayat hukum pemohon,” tulis Google.
Mengenai informasi yang diminta untuk dihapus berbeda – beda di setiap negara, orang Italia dan Inggris lebih fokus pada sumber berita, sementara warga Prancis dan Jerman fokus pada media sosial dan halaman direktori.
Prancis, Jerman dan Inggris merupakan negara – negara yang paling aktif mengajukan permintaan penghapusan URL, ada sekitar 51 persen permintaan penghapusan URL. Sekitar 15 persennya banyak yang meminta agar informasi dihapus. Banyak di antaranya adalah firma hukum dan layanan manajemen, tetapi sekitar 87 persen permintaan datang dari perorangan.
Situs yang paling banyak terkena dampaknya adalah direktori profesional di Prancis, dengan 7.701 URL dihapus. Di tempat kedua adalah Facebook, dengan 6.846 URL dimintau untuk dihapus, sementara Twitter keempat, dengan jumlah URL yang diminta dihapus sebanyak 5.476 URL.(hh)