MASTEL dan Victoria Government Bersinergi Membangun Masa Depan Digital Indonesia yang Tangguh melalui Simposium AI dan Cyber Security

Jakarta, 26 Juni 2025 – Transformasi digital Indonesia yang pesat sedang mengubah lanskap ekonomi dan sosial negara ini, sejalan dengan tren global yang mencatatkan 1,5 miliar pengguna internet baru di seluruh dunia antara 2018 hingga 2022. Pada awal 2024, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai hampir 221,5 juta dengan Indeks Literasi Digital sebesar 3,49 dari skala 5, menunjukkan tingkat literasi digital yang sedang hingga baik. Kemajuan ini, didukung oleh inisiatif seperti QRIS dan BIFAST, telah mendorong inovasi di sektor fintech melalui platform seperti GoPay, OVO, Dana, Xendit, dan Akulaku. Namun, lonjakan konektivitas digital juga meningkatkan risiko keamanan siber, dengan serangan ransomware melonjak 50% dan insiden phishing meningkat sekitar 70% pada tahun lalu. Untuk mengatasi tantangan ini, Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL), bekerja sama dengan Victoria Government, Australia, menyelenggarakan simposium bertajuk “Building a Resilient Digital Indonesia: Integrating AI, Cybersecurity, and Privacy” di Hotel Mandarin Oriental Jakarta pada Kamis, 26 Juni 2025.

Simposium ini menegaskan peran penting kecerdasan buatan (AI) dan keamanan siber dalam menjaga ekosistem digital Indonesia yang sedang berkembang. Seiring digitalisasi mendorong pertumbuhan ekonomi dan inklusi keuangan, Indonesia menghadapi sejumlah kendala, termasuk kekurangan tenaga ahli keamanan siber, infrastruktur yang belum memadai, dan rendahnya kesadaran masyarakat. Acara ini bertujuan mengatasi isu-isu tersebut melalui diskusi tentang solusi keamanan siber berbasis AI serta pembentukan kemitraan strategis melalui dua Memorandum of Agreement (MoA). MoA pertama, ditandatangani antara Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Deakin University, Australia, akan memperkuat penelitian dan inovasi di bidang AI dan keamanan siber. MoA kedua, antara SMK Telkom Malang dan Box Hill Institute, Australia, berfokus pada pelatihan vokasi untuk mengembangkan tenaga kerja digital yang terampil. Kesepakatan ini menandai komitmen untuk kolaborasi lintas batas, sejalan dengan visi Indonesia Digital 2045 dan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IACEPA).

Tujuan simposium ini yaitu untuk mengeksplorasi prospek dan manfaat keamanan siber berbasis AI, menganalisis tantangan implementasi, dan menyusun rekomendasi untuk pemerintah, industri, perbankan, dan sektor telekomunikasi. Diskusi menyoroti potensi AI untuk mendeteksi ancaman siber, mencegah penipuan, dan memastikan kepatuhan regulasi, sambil menekankan pentingnya kemitraan publik-swasta yang kuat. Hasil yang diharapkan meliputi rekomendasi kebijakan untuk memperkuat infrastruktur keamanan siber, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan mendorong kerja sama antar pemangku kepentingan untuk melindungi data dan sistem dari ancaman siber yang semakin meningkat.

Acara yang digelar dari pukul 09.00 hingga 15.00 di Ruang Thamrin, Hotel Mandarin Oriental Jakarta ini menghadirkan agenda padat dengan dua sesi panel tingkat tinggi. Sesi pagi, bertema “Building a Resilient Digital Indonesia: Integrating AI, Cybersecurity, and Privacy,” menampilkan pidato kunci dari Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Dr. Ismail, yang menekankan peran pemerintah sebagai pengatur dalam membangun ketahanan digital melalui kebijakan, regulasi, dan pendekatan kolaboratif seperti sandboxing. Dr. Ismail memaparkan bagaimana kerangka regulasi yang adaptif dapat mendorong inovasi AI sambil menjaga privasi dan keamanan data masyarakat. Sambutan pembuka disampaikan oleh Ketua Umum MASTEL, Sarwoto Atmosutarno, yang menyatakan, “Kemajuan sejati dalam transformasi digital tidak dapat dipisahkan dari kolaborasi lintas negara, sektor, dan disiplin ilmu.” Commissioner – Southeast Asia, Government of Victoria, Naïla Mazzucco menambahkan, “Victoria berkomitmen untuk bekerja bersama Indonesia guna membangun masa depan digital yang tangguh, dengan memanfaatkan keahlian kami di bidang AI dan keamanan siber.”

Presentasi dari para ahli memperkaya diskusi sesi pagi. Profesor Robin Ram Mohan Doss dari Deakin University mempresentasikan pendekatan zero trust cybersecurity yang didukung AI, menekankan bahwa kepercayaan tidak boleh diberikan secara implisit tetapi harus dievaluasi secara terus-menerus. Beliau memaparkan pentingnya kepercayaan pada tingkat sistem dan model AI untuk memaksimalkan manfaatnya, dengan menyatakan bahwa insiden keamanan siber bukan lagi pertanyaan “jika” tetapi “kapan.” Solusi zero trust ini, menurutnya, memerlukan perencanaan strategis dan implementasi yang cermat untuk melindungi sumber daya digital di era ancaman siber yang kompleks. Profesor Kalamullah Ramli dari Universitas Indonesia memaparkan tantangan keamanan siber dan privasi di Indonesia, menyoroti data bahwa 76,5% populasi Indonesia yang melek teknologi masih menghadapi ancaman seperti serangan ransomware dan phishing, dengan anomali lalu lintas jaringan meningkat signifikan antara 2020-2025. Beliau juga menyoroti isu privasi, seperti keterlambatan regulasi pelaksana UU Perlindungan Data Pribadi 2022 dan rendahnya kesadaran masyarakat tentang hak privasi data. Ramli memperingatkan tentang penyalahgunaan AI, seperti deepfake untuk melewati deteksi liveness biometrik dan spear phishing berbasis AI, yang meningkatkan risiko penipuan perbankan digital. Untuk mengatasi tantangan ini, beliau menekankan pentingnya solusi berbasis AI, seperti deteksi ancaman real-time, manajemen kerentanan, dan analitik prediktif, serta merekomendasikan penguatan koordinasi publik-swasta dan pelatihan kapasitas berkelanjutan.

Simon Kong, Senior Director APAC dari Cyan Digital Security, mempresentasikan solusi keamanan siber berbasis AI untuk operator telekomunikasi, menyoroti pentingnya cybersecurity-as-a-service sebagai sumber pendapatan baru sekaligus perlindungan pengguna. Beliau memaparkan bagaimana ancaman siber berbasis AI, seperti penipuan suara melalui voice cloning, phishing kontekstual yang menggunakan idiom lokal, dan skema sextortion berbasis deepfake, telah meningkatkan kerugian finansial di Asia Tenggara hingga lebih dari USD 43,8 miliar per tahun. Kong mencontohkan kasus penipuan impersonasi merek, seperti situs Netflix palsu, yang menipu pengguna untuk memasukkan data sensitif. Solusi Cyan mencakup deteksi ancaman real-time melalui pemindaian pesan dan email, honeypot yang ditingkatkan AI untuk menganalisis perilaku penyerang, serta analisis DNS untuk mengidentifikasi pola penipuan. Selain itu, Kong menekankan fitur perlindungan anak yang terintegrasi, seperti dashboard orang tua, kontrol akses internet, dan geofencing, untuk mendukung rencana keluarga yang lebih aman. Beliau juga menghubungkan solusi ini dengan kepatuhan terhadap regulasi seperti NIS2 di Eropa dan UU Perlindungan Data Pribadi di Indonesia, menegaskan bahwa operator telekomunikasi dapat memenuhi standar regulasi sambil meningkatkan ketahanan siber. Panel dinamis yang dimoderatori oleh Dr. Sri Safitri dari Telkom Indonesia ini menggali strategi kolaboratif untuk mengatasi kesenjangan keamanan siber, termasuk pemanfaatan AI untuk analisis prediktif dan respons cepat terhadap ancaman.

Sesi sore, bertema “Boosting Fintech Security with AI and Public-Private Synergy,” membahas kerentanan sektor fintech terhadap ancaman siber yang semakin canggih. Dimoderatori oleh Teguh Prasetya dari MASTEL, panel ini menampilkan Profesor Naveen Chilamkurti dari La Trobe University, yang mempresentasikan penerapan AI dalam mendeteksi penipuan transaksi fintech secara real-time, dengan studi kasus dari platform pembayaran digital di Australia. Dr. Amir Andargoli dari Swinburne University membahas pentingnya standar keamanan global yang selaras untuk melindungi ekosistem fintech yang terhubung secara global. Iain Russell dari Cyberoo AI menyoroti peran AI dalam berbagi intelijen ancaman lintas sektor, memungkinkan respons proaktif terhadap serangan siber. Narendra Saputra Monga, seorang praktisi keamanan siber, berbagi pengalaman praktis dalam menerapkan solusi AI untuk mengamankan aplikasi pembayaran digital di Indonesia, menekankan pentingnya pelatihan pengguna akhir untuk mencegah phishing. Sesi ini mengeksplorasi potensi transformasi AI dalam mengamankan pembayaran digital serta pentingnya standar yang selaras dan berbagi intelijen ancaman. Kedua sesi diakhiri dengan sesi foto dan kesempatan jaringan, memperkuat koneksi di antara pembuat kebijakan, akademisi, dan pemimpin industri.

Simposium ini ditutup dengan seruan kuat untuk kolaborasi dalam menghadapi sifat lintas batas kejahatan siber. Dengan menyatukan pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat sipil, Indonesia dan Victoria Government bertujuan membangun masa depan digital yang aman, inklusif, dan tangguh. Kemitraan yang terjalin dan wawasan yang dibagikan selama acara ini diharapkan dapat mendorong inovasi, memperkuat kerangka keamanan siber, dan mendukung perjalanan Indonesia menuju ekonomi digital yang kokoh. Seperti yang disampaikan Dr. Ismail, “Ketahanan berarti beradaptasi dan berkembang di tengah tantangan,” sebuah visi yang telah dimajukan melalui komitmen bersama dan hasil nyata dari simposium ini.