Jakarta – Pemerintah Amerika Serikat, meminta Twitter menyerahkan data-data penggunanya. Dimana sebelumnya sebuah akun pernah memposting foto perbandingan jumlah massa pada acara pelantikan Presiden Donald Trump dan President Barak Obama, kemudian akun itu juga mengkritik kebijakan imigrasi Presiden Trump.
Seperti dilansir dari BBC.com, adanya permintaan data mengenai penggunanya tersebut Twitter malah menuntut pemerintah Amerika Serikat. Twitter telah meminta pengadilan untuk melarang permintaan tersebut atas dasar kebebasan berbicara.
Data yang diminta adalah milik akun @ALT_USCIS yang profilnya memang dibuat tanpa adanya identitas yang jelas. Akun tersebut digunakan untuk mengkritik kebijakan imigrasi Presiden Trump. Ada dugaan akun tersebut milik salah seorang pegawai pemerintahan di United States Citizenship and Immigration Services.
Permintaan yang diajukan oleh pemerintah AS meliputi nama pengguna, akun login, nomor telepon, alamat email dan alamat IP.
“Hak kebebasan berbicara diberikan oleh Twitter kepada para penggunanya dan Twitter sendiri berada di bawah Amandemen Pertama dari Konstitusi Amerika Serikat. Termasuk hal untuk menyampaikan pendapat politik melalui akun anonimus,” ujar perusahaan sosial media tersebut.
“Twitter hanya bisa memberikan informasi penggunanya apabila ada bukti bahwa penggunanya memang terlibat dalam kasus pidana atau perdata,” tambahnya.
Tindakan yang diambil oleh Twitter tersebut mendapat dukungan dari American Civil Liberties Union, sebuah organisasi yang membela hak asasi manusia.
“Kami sangat senang melihat aksi Twitter yang membela hak-hak penggunanya, dan kami dari ACLU akan segera mengajukan berkas-berkas kepada piihak pengadilan atas nama pengguna tersebut,” ujar ACLU dalam pernyataannya.
“Untuk bisa memperoleh informasi mengenai pengguna layanan online, pemerintah harus memiliki bukti-bukti yang kuat. Sementara untuk kasus saat ini pemerintah tidak mempunyai alasan apapun, sehingga menimbulkan kekhawatiran hanya akan membungkan kebebasan dalam berpendapat,” tambahnya.
Pada bulan Januari, ketika Donald Trump resmi menjadi Presiden AS, sejumlah akun ‘alternatif’ dari para pegawai pemerintahan mulai banyak bermunculan. Akun-akun tersebut digunakan untuk melancarkan kritikan pedas terhadap bos baru mereka.
Pemerintah AS menuntut Twitter menyerahkan informasi penggunanya tersebut dengan batas waktu yang ditetapkan pada tanggal 13 Maret 2017. Namun, hingga tanggal 14 Maret 2017, Twitter belum memenuhi tuntutan tersebut.
Malah Twitter menanggapinya dengan sebuah jawaban, “Dengan diijinkanya pemerintah untuk mendapatkan informasi mengenai penggunanya, akan menimbulkan dampak yang sama bagi akun-akun pada layanan online lainnya.”(hh)