Aturan Penyadapan dan Pemberlakuannya di Indonesia

Jakarta – Adanya dugaan mengenai pembicaraan telepon Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma’ruf Amin yang diungkap oleh diungkap oleh kuasa hukum Ahok, Humphrey Djemat. Menimbulkan sorotan terhadap Undang-Undang Telekomunikasi, khususnya mengenai aturan penyadapan.

Seperti dilansir dari CNN Indonesia, perihal penyadapan telah diatur pada Pasal 40 di dalam UU Telekomunikasi. Pada pasal tersebut tertulis “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.”

Maksud dari pasal tersebut adalah dilarang untuk menambah atau memasang alat tambahan di jaringan telekomunikasi dengan tujuan untuk mendapatkan informasi melalui cara yang tidak diijinkan, maka ancaman untuk kasus penyadan hukumannya 15 tahun penjara maksimal. Sementara kalau dilihat pada UU Nomor 11/2008 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) penyadapan dimasukan dengan istilah intersepsi.

Berdasarkan UU ITE Intersepsi ataupun penyadapan merupakan aktivitas mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik itu menggunakan jaringan nirkabel atau kabel.

Walaupun demikian ada hal-hal yang harus dipenuhi, sehingga bisa dikatakan sebuah penyadapan, ini diuraikan pada Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU ITE:

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.

Sementara di UU ITE ancamannnya penjara 10 tahun maksimal dan dikenakan denda sebesar Rp. 800 juta.

Namun, ada pengecualian apabila intersepsi atau penyadapan itu digunakan untuk menegakan hukum. Seperti permintaan dari instansi penegak hukum, Kepolisian, Kejaksaan serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Khusus untuk KPK diperkuat dengan adanya Pasa 12 UU KPK yang menyatakan bahwa lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan ketika menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sementara untuk aturan prosedur penyadapannya sendiri tidak disebutkan.

Sementara dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), aktivitas penyadapan dijelaskan bahwa ketentuan Pasal 31 UU ITE mempunyai maksud:

Pertama, penegak hukum mempunyai kewenangan untuk melakukan penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum.

Kedua, penyadapan yang dilakukan harus berdasarkan permintaan dalam rangka penegakan hukum.

Ketiga, kewenangan penyadapan dan permintaan penyadapan dalam rangka penegakan hukum harus ditetapkan berdasarkan UU.

Dengan adanya rumusan Pasal 31 UU ITE, maka hanya pihak berwenang saja yang di ijinkan untuk melakukannnya untuk melakukan penegakan hukum. Selain lembaga penegak hukum dilarang untuk melakukannya. Seandainya penyadapan itu melanggar hukum, maka tidak dapat digunakan sebagai bukti dalam sebuah persidangan.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010 yang dibuat untuk membatalkan Pasal 31 ayat (4) UU ITE karena tidak adanya aturan standar untuk penyadapan dan ini akan memungkin untuk terjadinya penyimpangan pada saat pelaksanaannya. Selain itu, menurut MK penyadapan adalah sebuah bentuk pelanggaran untuk sebuah hak privasi, dimana hal tersebut tidak sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945.(hh)