Toko aplikasi buatan Tiongkok, terkesan dan terlihat berantakan. Bahkan yang pembuat ponsel pintar t terkemuka seperti Huawei, AppGallery-nya masih penuh dengan aplikasi yang tidak menarik, atau versi cloning, dan banyak kontennya yang melanggar hak cipta.
Sejauh ini perangkat lunak secara umum tetap menjadi kelemahan besar para pembuat ponsel pintar asal Tiongkok, setidaknya di pasar internasional. Jadi sangat mudah untuk memahami kenapa orang dengan cepat menepis berita minggu ini tentang aliansi aplikasi antara produsen ponsel pintar terbesar di Tiongkok.
Inisiatif yang diambil oleh produsen besar ponsel pintar asal Tiongkok ini diberi nama Global Developer Service Alliance (GDSA) atau dalam bahasa indonesia Aliansi Layanan Pengembang Global. Tujuannya untuk saat ini adalah menawarkan platform tunggal bagi para pengembang untuk mengunggah aplikasi mereka yang kemudian akan dibagikan di seluruh toko aplikasi yang dikelola oleh Xiaomi, Oppo, dan Vivo.
Seperti dilansir dari Reuters, Huawei juga merupakan bagian dari GDSA. Namun, perusahaan teknologi ini menolak berkomentar. Tetapi Huawei jelas akan mendapat manfaat dari inisiatif apa pun yang dapat dari GDSA untuk menggantikan Google Play Store.
Huawei, Xiaomi, Oppo, dan Vivo memiliki lebih dari 40% pasar ponsel lokal. Selain itu mereka juga melakukan persaingan sengit dalam rangka berjuang mati-matian dalam industri yang sangat kompetitif. Denga adanya bentuk larangan ekspor yang diberlakukan oleh pemerintah Amerika, menjadi dorongan untuk memicu motivasi mereka untuk bergabung bersama.
Dalam sebuah pernyataan kepada Android Authority Xiaomi memberikan penjelasan singkat mengenai GDSA. Aliansi Layanan Pengembang Global hanya berfungsi untuk memfasilitasi pengunggahan aplikasi oleh pengembang ke masing-masing toko aplikasi milik Xiaomi, Oppo, dan Vivo secara bersamaan. Tidak ada tujuan untuk bersaing Google Play Store.
Namun apa yang disampaikan oleh Xiaomi berbeda dengan pernyataan yang ada di situs web GDSA. Di situs web secara terbuka disampaikan bahwa ambisi mereka melampaui sekadar sistem unggahan yang terpadu untuk toko aplikasi mereka. Mereka juga menyatakan akan memberikan layanan satu atap termasuk distribusi konten, dukungan pengembangan, operasi pemasaran, promosi merek, dan monetisasi lalu lintas ke pengembang global.
Sanksi dari Amerika terhadap Huawei dan ZTE menunjukkan betapa rapuhnya industri teknologi Tiongkok. Sejauh ini Huawei berhasil menyelamatkan dirinya dari sanksi itu, setelah 10 bulan setelah terkena sanksi perusahaan ini tampak terlihat sehat. Tapi Huawei adalah raksasa industri dari pembuat ponsel di Tiongkok.
Sementara Xiaomi dan merek lainnya tidak memiliki skala dan sumber daya yang diperlukan untuk melawan sanksi serupa. Lihat saja apa yang terjadi pada ZTE. Perusahaan yang jauh lebih besar, ZTE menutup pabriknya hanya beberapa minggu setelah Amerika mengenai sanksi larangan ekspor.
Bahkan Huawei yang perkasa saja masih belum dapat menembus monopoli industri Amerika pada sistem operasi seluler atau lebih tepatnya pada platform seluler yang orang benar-benar ingin gunakan dan pengembang aplikasi benar-benar ingin mendukung.(hh)