Tanpa Badan Usaha Tetap, OTT Akan Diblokir

Pemerintah Indonesia akan bertindak serius dalam menangani masalah status Badan Usaha Tetap (BUT) dari para perusahaan penyedia konten atau Over The Top (OTT) asing yang berjalan di Indonesia seperti, Facebook, Netflix, Twitter dan lainnya. Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara, pihaknya akan bertindak tegas kepada semua penyedia layanan OTT yang beroperasi di Indonesia.

Kita serius kejar OTT asing. Kan janjinya Maret ini akan keluar Peraturan Menteri (Permen). Nah, kalau ada payung hukum kita enak bergeraknya. Kalau andalkan aturan yang sekarang kenanya sepotong-sepotong,” jelas Menkominfo Rudianta.

Menurutnya, saat ini Kemkominfo sedang menjalani tahap akhir untuk diterbitkannya peraturan menteri yang berkaitan dengan kewajiban Badan Usaha Tetap (BUT) bagi para OTT yang berjalan di Indonesia. Semuanya harus menyanggupi aturan yang ditetapkan Kemkominfo pada akhir Maret mendatang, jika tidak diikuti aturan tersebut, para OTT asing ini bisa diblokir.

“Punishment kalau nggak dipenuhi, teknisnya gampang, nanti diblokir dari operator,” tegasnya.

Aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah ini berlaku bagi semua penyelenggara OTT, dan kabarnya 3 OTT yang sudah lama berjalan di Indonesia seperti Facebook, Google, dan Twitter sudah menyetujui aturan tersebut.

“Sudah dibicarakan waktu ke silicon valley, mereka menyanggupi,” katanya.

Naikkan Potensi Pajak

Pemerintah menurut Rudiantara, tidak ingin OTT hanya membuka kantor cabang saja, tapi harus berbadan usaha di Indonesia. Para pelaku OTT juga bisa membentuk badan usaha patungan (joint venture) atau memilih bekerja sama dengan para operator seluler di Indonesia. Aturan ini juga diharapkan bisa membuat pemerintah mendapat pemasukan pajak dari para OTT asing yang selama ini beroperasi di Indonesia. Kebijakan yang tertuang pada Peraturan Menteri Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) juga bertujuan untuk melindungi pengguna yang menggunakan konten dari para OTT asing ini.

“Ini sebagai bentuk terhadap perlindungan konsumen. Namun, upaya ini juga bisa mengeruk potensi pajak yang tidak terserap akibat OTT tidak berbadan hukum di Indonesia,” katanya.

Diperkirakannya, pada 2015 iklan digital dari Indonesia memiliki nilai US$430 juta. “Kalau misalnya kena PPn 10% sudah US$43 juta, belum PPh badan,” ujarnya.

Lindungi Pengguna jasa Internet

Menurut Menteri yang biasa disapa Chief RA itu menjelaskan bahwa selama ini jika terdapat keluhan dari para pengguna jasa internet, selalu diarahkan ke Kemkominfo atau para operator. Padahal semestinya keluhan tersebut harus ditujukan langsung ke pihak yang bersangkutan.

Misalkan kasus Netflix, menurutnya jika pengguna Netflix ingin memberikan keluhan terhadap layanan yang diberikan Netflix, harus ditujukan ke siapa. Karenanya, sangatlah penting para OTT asing ini berbadan usaha tetap agar para pengguna pun merasa nyaman. Tidak hanya itu, dengan adanya kantor berbadan hukum dari penyedia layanan internet, dapat memberikan jaminan proteksi data bagi para konsumen yang menggunakan layanan/jasa para OTT asing ini.

“Misalnya, selama ini Gmail pakai data kita dan kita kasih semua data ke sana. Terus mau diapain? Mereka tahu karakter pengguna. Nah, kalau diberikan keluar bagaimana,” kata Chief RA.

Sebelumnya, Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) menyatakan pemerintah memiliki banyak senjata untuk menghentikan aksi OTT karena ada sejumlah aturan eksisting dilanggar. [MFHP]