Kebebasan online berinternet terus menurun secara global, menurut sebuah studi baru, pemerintah semakin menindak ucapan pengguna dan misinformasi yang meningkat.
Laporan dari Freedom House, sebuah kelompok advokasi demokrasi yang berbasis di Washington DC, menemukan bahwa kebebasan berinternet menurun untuk tahun kelima berturut-turut di Amerika dan pada tahun ke-11 secara internasional dikarenakan adanya dua alasan yang berbeda.
Di dalam negeri, kurangnya regulasi dalam industri teknologi memungkinkan suatu perusahaan untuk tumbuh tanpa cela dan informasi yang salah berkembang secara online. Di luar negeri, pemerintah otoriter telah memanfaatkan kontrol mereka yang ketat terhadap internet untuk menundukkan kebebasan berekspresi.
Freedom House mengutip semakin kurangnya keragaman di antara berbagai sumber informasi online di Amerika yang memungkinkan munculnya konspirasi dan informasi yang salah, sebuah masalah yang sangat digarisbawahi selama pemilihan 2020 dan kerusuhan di tahun 2021 di capitol (ibukota) Amerika.
“Penyebaran konten palsu dan konspirasi tentang pemilihan November 2020 mengguncang fondasi sistem politik Amerika,” seperti dikutip dari laporan tersebut.
Studi tahunan, yang telah diterbitkan sejak 1973, menggunakan indeks standar untuk mengukur kebebasan internet menurut negara pada skala 100 poin. Ini mengajukan pertanyaan tentang infrastruktur internet, kontrol pemerintah dan hambatan akses, serta regulasi konten. Banyaknya negara diberi skor pada skala 100 poin dengan angka yang lebih tinggi dianggap lebih bebas.
Laporan itu menyebut langkah-langkah yang diambil oleh Joe Biden sejak pemilihannya yang menjanjikan untuk kebebasan berinternet, dengan mengutip perintah administrasi Trump untuk menghentikan transaksi antara individu Amerika dan perusahaan social media China.
Sementara itu, kebebasan internet global juga menurun selama 11 tahun berturut-turut, dengan lebih banyak pemerintah yang menangkap pengguna karena pidato politik, sosial, atau agama tanpa kekerasan daripada sebelumnya. Setidaknya, 20 negara menangguhkan akses internet, dan 20 rezim memblokir akses ke platform media sosial, menurut laporan itu.
Penurunan terbesar terlihat di Myanmar, Belarus, dan Uganda. Di Uganda, kebebasan berinternet turun tujuh poin setelah akun media sosial pro-pemerintah membanjiri lingkungan online dengan informasi yang dimanipulasi sebelum pemilihan Januari 2021. Pada Agustus 2020 di Belarus, pasukan pemerintah menindak kerusuhan pemilu dengan membatasi akses ke internet dan mengawasi aktivis secara online.
Laporan tersebut menyebut pemerintah Tiongkok sebagai pelanggar kebebasan berinternet terburuk di dunia, mengutip undang-undang baru yang mengkriminalisasi ekspresi tertentu secara online dan hukuman penjara kejam yang dikeluarkan untuk aktivis karena perbedaan pendapat online, termasuk hukuman 18 tahun penjara terhadap seorang aktivis karena mendistribusikan makalah yang mengkritik kebijakan pemerintah.
Tahun ini, para pejabat di India menekan Twitter untuk menghapus komentar terkait protes dan kritis serta diminta untuk berhenti menandai konten yang dimanipulasi dan dibagikan oleh partai yang berkuasa. Otoritas Nigeria Presiden Turki Recep Tayyip sendiri telah mengawasi penahanan massal jurnalis dan politisi oposisi.
Laporan lebih lanjut menunjukkan bahwa pemerintah berselisih dengan perusahaan teknologi tentang hak pengguna, dengan otoritas setidaknya di 42 negara untuk mengejar aturan baru pada platform konten, data, dan persaingan selama setahun terakhir.
Secara khusus, di India, para pejabat menekan Twitter untuk menghapus postingan yang kritis terhadap partai yang berkuasa. Pihak berwenang di Nigeria memblokir akses ke Twitter setelah platform tersebut menghapus postingan yang menghasut presiden di negara tersebut. Presiden Turki Recep Erdoğan berulang kali menuduh perusahaan teknologi “fasisme digital” karena penolakan mereka untuk mematuhi ketentuan dalam undang-undang media sosial baru negara itu.
Terlepas dari masalah ini, laporan itu mengatakan bahwa undang-undang untuk mengatasi penyalahgunaan perusahaan teknologi telah dibatasi. Sementara ditemukan bahwa 48 negara telah melakukan tindakan pengaturan pada tahun lalu, hanya sedikit dari undang-undang tersebut yang berpotensi membuat perubahan yang berarti.
“Dalam argumentasi berisiko tinggi antara pemerintah dan perusahaan teknologi, hak asasi manusia menjadi korban utama,” kata Allie Funk, analis riset senior yang ikut menulis laporan tersebut, dalam jumpa pers pada hari Senin.(ra/hh)