Revisi UU ITE Dorong Netizen Agar Lebih Bijak

Jakarta – Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono pada Senin, 28 November 2016 menyampaikan bahwa perlu adanya pengawasan langsung terhadap pelaksanaan Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

“Bukan membelenggu kebebasan berekspresi, karena kebebasan itu sendiri perlu berjalan di atas norma, etika dan nilai-nilai yang berlaku umum di masyarakat agar tercipta ketertiban umum,” jelasnya seperti dikutip dari detikINET.

Ia juga melihat hal yang perlu dikhawatirkan bukanlah masalah adanya pengekangan untuk bebas berekspresi saja. Namun, ada permasalahan lain yang perlu menjadi perhatian juga dengan ditetapkannya Revisi UU ITE tersebut.

“Yang perlu diawasi adalah dalam pelaksanaannya apakah sesuai tujuan yang diharapkan atau ada penyimpangan untuk kepentingan tertentu,” tandasnya.

Pada UU ITE sebelumya ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan atau denda paling besar Rp 1 miliar. Sementara pada Revisi UU ITE ancaman pidana untuk penghinaan dan atau pencemaran nama baik yang ada didalam Pasal 27, untuk penjara paling lama 4 tahun dan atau denda maksimal Rp 750 juta.

Namun sampai saat ini penomoran untuk aturan tersebut belum ada, padahal DPR dan pemerintah sudah mengesahkannya pada tanggal 27 Oktober 2016 melalui rapat paripurna.

Mengenai diberlakukannya Revisi UU ITE, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menegaskan bahwa revisi perlu dilakukan agar multitafsir bisa dihindari. Karena selama ini hal tersebut sering terjadi pada pasal 27.

Pada UU ITE yang belum direvisi menimbulkan banyak kontroversi khususnya pada pasal 27 ayat 3 mengenai pencemaran nama baik melalui internet. Menkominfo juga menjelaskan sudah ada sekitar lebih dari seratus kasus yang berhubungan dengan pasal itu. Bahkan banyak pelaku yang langsung dimasukan kedalam penjara.

Dengan adanya Revisi UU ITE, maka untuk pasal 27 pun ada penekanan proses yang harus sejalan dengan aturan hukum. Jadi, pelaku yang terkena pasal tersebut tidak boleh langsung ditahan, sebelum dilakukan proses pemeriksaan.

Dengan diberlakukannya Revisi UU ITE para pengguna media menjadi tidak perlu melihatnya sebagai ancaman. Namun, justru mendorong agar menjadi lebih bijak ketika menyiapkan sebuah konten.

“Kita akan melakukan sosialisasi literasi (dunia maya-red). Kalau biasanya pendekatan dengan blokir, sekarang bagaimana melakukan sosialisasi,” ujar Menkominfo seperti dikutip dari detikINET.

Selain dilakukannya revisi pada pasal 27, disisipkan pula kewenangan tambahan pada Pasal 40. Dimana pemerintah berhak memblokir atau menghapus konten-konten yang terlarang guna mencegah penyebarluasannya.

Dengan semakin banyaknya beredar berita hoax di dunia maya, Menkominfo juga menghimbau agar para Netizen melakukan pengecekan terhadap berita-berita yang diterima, apalagi bila itu sumbernya dari media sosial. Ditambah kondisi sekarang sedang memanas, sehingga perlu memastikan bahwa konten yang diterima sudah sesuai dengan fakta.(hh)